March 2010 - Dear Life, Affection, Hope and all ever happen...

Thursday, March 11, 2010

My Name is Khan
8:36 AM 2 Comments

mo sedikit berbagi tentang film yang barusan gw liat.. walaupun resensinya gw ambil dari blog lain. :P

Jarang banget gw suka film India. film India terakhir yang gw liat yaitu Slumdog Millionaire. Ga banyak nari dan nyanyi, yang menurut gw itu kadang2 g penting gitu loh.. tapi itulah seninya film India,,

waktu gw baca koran tentang film India yang ditayangkan dan dipuji di AS dan malah dicekal di India, wah, gw jadi pengen liat nih.. judulnya My Name Is Khan.

Dalam tagline-nya di poster, film ini menggunakan kalimat yang menggugah:

“An ordinary man, An extraordinary journey… FOR LOVE”

{Seorang pria biasa, sebuah perjalanan luar biasa… UNTUK CINTA}


Dalam film ini, cinta menemukan aneka maknanya. Mulai dari cinta antar anak manusia berbeda jenis, cinta orangtua pada anaknya, cinta pada agama, cinta tanah air, dan yang terbesar adalah cinta pada kemanusiaan. Cinta jenis terakhir inilah yang coba dikemas oleh Karan Johar menjadi suatu film yang tanpa dinyana menjadi box office di luar India, bahkan menembus dominasi Hollywood. Tentu, ada ‘pengorbanan’ yang harus dirasakan para pecinta film Bollywood, antara lain dengan ditiadakannya nyanyian dan tarian seperti biasa diumbar di film-film asal India. Namun, justru itulah yang membuat film ini layak tonton terutama bagi yang bukan penggemar film India seperti saya.

Plot ceritanya sendiri berkisar pada petualangan seorang bernama Rizwan Khan, yang diperankan dengan baik oleh Shahrukh Khan (IMHO). Walau dari beberapa resensi yang saya baca terutama dari penggemar film India, peranan Shahrukh Khan dianggap ‘maksa’, bagi saya malah fantastis. Sebagai seorang bintang film ternama yang biasa memerankan tokoh heroik atau protagonis, berperan menjadi seorang penderita “asperger’s syndrome” -atau lebih dikenal awam sebagai autisme- tentu merupakan tantangan. Dan menurut hemat saya, dengan pengawasan dari lembaga peduli autisme -maaf saya lupa namanya- yang ditampilkan di awal film berdampingan dengan sejumlah sponsor utama, sudah pasti karakter Khan disupervisi dengan baik. Maka, berlebihan kalau ada yang menganggap akting Shahrukh Khan sebagai penderita penyakit tersebut berlebihan.

Film dibuka dengan scene yang nantinya secara alur waktu akan jadi di tengah. Jadi alurnya sempat mundur atau flashback, untuk kemudian maju lagi secara linear. Cerita sendiri bergulir diselingi narasi dari Rizwan saat sedang menuliskan buku hariannya. Scene yang ditampilkan di awal film adalah Rizwan Khan dewasa (Shahrukh Khan), untuk kemudian menampilkan masa kecil Rizwan Khan (Tanah Chheda) yang hidup di masa pecahnya pertikaian antara Muslim dan penganut agama Hindu pada tahun 1983. Kalau saya tidak salah ingat, dalam insiden tersebut -yang melibatkan pula penganut Sikh- kemudian mengakibatkan terbunuhnya Perdana Menteri India Indira Ghandi pada tahun 1984. Rizwan yang tinggal di kota Borivali, bagian dari Mumbai, hidup bersama adiknya Zakir dan ibunya Razia. Tidak ada keterangan jelas tentang ayahnya, sehingga penonton bisa berasumsi kakak-beradik itu sudah yatim.

Kelainan Rizwan sedari kecil sudah disadari oleh ibunya, yang kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang. Meski lingkungannya tidak mau menerimanya dan malah ia sering mengalami ‘bullying’, namun ibunya selalu membelanya. Ia kemudian malah mencarikan seorang guru khusus bernama Profesor Wadia yang kemudian dengan metode privat ala homeschooling mampu memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan kepada Rizwan Khan. Patut diketahui, seorang penderita autisme bukanlah seorang idiot atau down syndrome. Ini berbeda dengan peran yang dimainkan oleh Tom Hanks dalam Forrest Gump (1995). Dalam film tersebut, Forrest Gump adalah penderita keterbelakangan mental atau istilah teknis psikologisnya down syndrome. Sementara Rizwan Khan penderita perhatian teralih atau istilah teknis psikologisnya Asperger’s syndrome, yang diambil dari nama penemunya Hans Asperger. Penderita down syndrome nyaris tidak mampu menyerap ilmu pengetahuan, sementara penderita Asperger’s syndrome sebaliknya, sangat cerdas. Hanya saja kecerdasan mereka tidak terbagi rata, kerapkali perhatian penderitanya teralih pada hal-hal lain, terkadang seperti sedang berada di ‘dunia lain’. Sehingga seperti dengan baik ditunjukkan oleh karakter Rizwan Khan, ia seorang ‘audiotori’ yang hebat, sementara emosinya nyaris nol: ia tidak mampu menangis, marah atau tertawa. Kecerdasan Rizwan ditunjukkan dengan bakatnya yang mampu “memperbaiki nyaris apa saja”.

Saat Zakir mendapatkan beasiswa studi ke Amerika Serikat, Rizwan menjadi kesepian. Ia kemudian jadi punya kebiasaan memunguti batu-batu kecil dan menjadikannya semacam alat untuk berzikir. Karena berzikir inilah Rizwan ditangkap aparat kepolisian penjaga bandara San Fransisco di Amerika Serikat. Tentu saja karena ia dianggap teroris. Kedatangannya ke A.S. sendiri semula atas sponsor dari adiknya, yang beristrikan seorang sarjana psikologi bernama Haseena. Oleh adik iparnya inilah ia kemudian dikenali menderita Asperger’s syndrome dengan kecenderungan memiliki ciri seorang “Idiot Safan”. Ciri khasnya sangat kuat: sangat terganggu oleh suara bising dan hal-hal tertentu yang sangat biasa bagi orang lain, dalam karakter Rizwan hal itu adalah warna kuning. Namun seorang “Idiot Safan” bisa menunjukkan kecerdasan luar biasa, bahkan Rizwan sendiri tahu dan bisa menerangkan tentang apa itu “Asperger’s syndrome” dan ia tahu pula bahwa ia menderita penyakit itu. Kecerdasan luar biasa itu juga nantinya ditunjukkan saat ia mampu menerangkan sejarah kota San Fransisco dan menebak tepat teka-teki mencari nama hewan di antara sekian banyak huruf yang terserak.

Pengembaraannya di Amerika Serikat dimulai saat ia sedang berkeliling kota dengan membawa handycam atas saran Haseena, namun tiba-tiba ia terjebak di tengah lalu-lintas ramai dan tak mampu menyeberang di zebra cross karena jalur penyeberangan orang itu berwarna kuning! Ia kemudian ditolong seorang kapster salon bernama Mandira (Kajol). Di sini penonton pasti bisa menebak bahwa Mandira inilah yang kemudian menjadi kekasih Rizwan Khan. Saat itu, Rizwan tengah menjalankan tugas dari adiknya Zakir (Jimmy Shergill) sebagai salesman produk kecantikan herbal. Hubungan Mandira-Rizwan Khan sendiri berevolusi dari yang tadinya menolong, kemudian jadi konsumen pelanggannya, lalu jadi kekasih dan terakhir dilamar sebagai istrinya. Walau Mandira seorang janda dengan satu anak bernama Sameer (Yuvaan Makaar) dan beragama Hindu, cinta mereka mengalahkan segalanya. Walau saat pernikahan adiknya Zakir menolak datang, namun Haseena tetap hadir menyatakan dukungannya. Adegan pernikahan keduanya dan saat sebelumnya Rizwan-Mandira saling goda di salon, terlihat filmis dan “India bangeeet”. Namun tetap apik, seperti penggambaran adegan biasa saat Mandira memangkas rambut Rizwan menjadi luar biasa dengan extreme close-up dibantu pencahayaan back-light dan efek air. Romantis jadinya.

Dalam kesehariannya, keluarga Rizwan Khan di A.S. memiliki sahabat yang merupakan tetangganya, yaitu keluarga Garrick. Mark Garric (Dominic Renda) sebagai kepala keluarga adalah seorang jurnalis yang kemudian berangkat meliput Perang Irak III (Invasi A.S. ke Irak-2003), sementara istrinya Sarah (Katie A. Keane) merupakan sahabat Mandira. Anak mereka Reese pun berteman akrab dengan Sameer yang akrab disapa Sam.

Kebahagiaan mereka terusik saat terjadi Peristiwa 9/11., 11 September 2001 Sontak terjadi ketidakadilan di mana-mana. Perlakuan warga A.S. kulit putih kepada yang dicurigai teroris amat semena-mena. Tidak hanya yang beragama Islam, namun yang berwajah Timur Tengah atau orang Sikh India pun diteror, karena dianggap teroris atau orang Afghanistan. Penggambarannya amat bagus, membuat saya teringat pada Fahrenhet 9/11 (2004)-nya Michael Moore. Haseena yang berjilbab, bahkan direnggut paksa jilbabnya dari belakang oleh seorang mahasiswanya sendiri yang kemudian lari. Sehingga, untuk sementara Haseena diminta menanggalkan jilbab oleh Zakir demi keselamatannya. Akibat perlakuan rasis ala “Klu-Klux Klan” itu, Sam pun menjadi korban. Ia dipukuli sejumlah temannya di lapangan football kota dan meninggal dunia. Sebenarnya Reese menyaksikan kejadian itu, tapi ia pun takut karena diancam. Akibatnya, polisi kesulitan mencari bukti dan saksi atas peristiwa itu. Selain itu ada faktor lain yaitu Reese dan ibunya marah karena Mark -ayah dan suami mereka- meninggal dunia saat bertugas meliput perang di Irak. Mereka menganggap Rizwan Khan yang muslim dan keluarganya turut bertanggung jawab.

Demikian pula hubungan antara Mandira dengan Rizwan Khan pun retak. Mandira menganggap, andaikata ia tidak menikahi Khan yang seorang muslim, niscaya Sameer -anaknya dari pernikahan terdahulu- tidak akan meninggal dunia. Maka, Mandira pun mengusir Rizwan Khan pergi. Sebelum itu, suaminya sempat bertanya apa yang harus dilakukannya agar istrinya memaafkannya. Jawaban Mandira: temui Presiden Amerika Serikat, dan katakan padanya, “My Name is Khan. And I’m Not a Terrorist!” Rizwan pergi dengan menganggap serius pesan itu, yang segera direkamnya dengan baik sebagai seorang audiotori.

Maka, journey pun dimulai. Rizwan mencari data dari internet tentang Presiden A.S. saat itu, George Walker Bush atau dikenal sebagai George Bush Jr. Namun upayanya untuk bertemu sang presiden dengan mencari jadwal dan mencegatnya selalu gagal. Ia bahkan ditangkap polisi di bandara San Fransisco hanya karena seorang penumpang mendengarnya mendaras zikir sembari membolak-balikkan batu-batu kecil. Pelecehan terjadi padanya saat digeledah dan diperiksa berjam-jam lamanya, walau kemudian dibebaskan. Marshall A.S. yang menangkapnya bahkan sempat mengejek Rizwan saat mengatakan akan ia mengutarakan niatnya untuk bertemu Presiden A.S. dengan menitipkan salam. Satu hal yang kemudian disampaikan Rizwan kepada Presiden A.S. yang ditemuinya di akhir film.

Dalam upaya menemui Presiden, Rizwan meluncur ke Los Angeles. Di sini, di sebuah masjid ia sempat mendengar ceramah bernada agitasi dari seorang pemuka agama bernama Dr. Faisal Rahman (Arif Zakaria). Ulama itu menganalogikan perintah jihad itu ibarat Ibrahim yang bersedia mengorbankan anaknya ketika diminta Tuhan. Dengan apik di sini Rizwan menolak seruan jihad dari ulama itu dan menganggapnya setara setan dalam kisah Ibrahim tersebut. Karena menurutnya Ibrahim justru rela mengorbankan anaknya karena yakin anaknya tidak akan ‘diambil’ oleh Tuhan dengan pengorbanan darah ala agama pagan. Namun justru setan-lah yang kemudian dilemparinya dengan batu -seperti ritual jumrah dalam haji- yang meminta Ibrahim tidak yakin pada Tuhan. Rizwan kemudian berinisiatif menghubungi FBI dengan meminta nomor telepon lebih dulu ke kakak iparnya Haseena.

Saat berhasil berada di kerumunan penyambut Presiden Bush di satu acara di sebuah kampus di Los Angeles -sepertinya UCLA-, dengan bersemangat Rizwan berteriak “My name is Khan. And I’m not a terrorist!” Sayang, orang di sekelilingnya salah dengar dan kemudian malah berhamburan lari, meninggalkan Khan yang kebingungan dan akhirnya ditangkap polisi. Akibat trauma 9/11, pemeriksaan Khan makan waktu lama. Walau begitu, di tahanan ia dibela seorang psikiater bernama Radha (Sheetal Menon) yang dengan segera mengenali “Asperger’s syndrome” yang diderita Rizwan Khan. Sementara, seorang polisi penyidik malah menganggap itu hanya akting belaka.

Untunglah, teriakan Khan sempat terekam oleh kamera dua orang awak pers kampus. Mereka bernama Raj (Arjun Mathur) dan Komal (Suganda Garg). Mereka menyaksikan berulang-ulang rekaman itu dan yakin justru Khan berteriak “I’m not a terrorist”, bukan “I’m terrorist!” (dalam hati saya bilang, ya iyalah, masak ada teroris teriak-teriak pengumuman begitu?). Komal sendiri sempat menolak menindaklanjuti pembelaan Khan. Namun ia luluh setelah temannya menyinggung, “kamu tidak mau membela karena ia bernama Khan (Islam) bukan? Apakah akan berbeda bila nama marganya Khanna (Hindu)?”, ternyata Komal memang seorang Hindu dan ia tidak mau dicap rasis. Setelah mencoba mencari bantuan dari jurnalis profesional dan selalu ditolak, mereka akhirnya mendapatkan bantuan kampanye pemberitaan dari Bobby Ahuja (Parvin Dabas). Segera saja berita “salah tangkap” itu merebak dan memicu perhatian publik. Bahkan anggota Kongres pun meminta Khan dibebaskan. Menyadari kesalahannya, walau terpaksa kepolisian melepaskan Khan. Apalagi, dalam rekaman telepon, terbukti Rizwan Khan berupaya menelepon FBI memberitahukan rencana jahat Dr. Faisal Rahman. Ulama itu kemudian ditangkap bersama sejumlah pengikutnya.

Mandira yang sudah menyadari kesalahannya, segera menyusul Khan. Bahkan ia menunggu Khan di luar kantor polisi. Namun Khan yang merasa tugasnya belum selesai, tidak mau menemui Mandira. Di sini kejadiannya “film banget” bagi saya. Karena ada adegan sejumlah orang menyambut sang pahlawan, sementara sang pahlawan berselisih jalan dengan kekasihnya.

Dalam upayanya kembali berupaya menemui Presiden A.S., Rizwan melihat di televisi terjadi badai besar di Georgia. Ia lantas teringat Mama Jenny. Ini adalah seorang ibu kulit hitam yang menolongnya dalam masa awal upayanya bertemu Presiden A.S. pasca meninggalnya Sam. Mama Jenny (Jennifer Echols) ini adalah penganut Kristen Methodist yang amat taat, namun tidak membeda-bedakan siapa yang perlu ditolongnya. Dengan gaya kharismatiknya di gereja, Rizwan dido’akan oleh jemaat Mama Jenny agar tetap bersemangat melaksanakan ucapan istrinya yang dianggap amanat olehnya. Maka, saat Georgia dilanda badai besar, dengan heroik Rizwan kembali ke sana untuk menolong Mama Jenny. Dengan keahliannya “yang bisa memperbaiki apa saja”, ia berupaya keras mencari uang untuk meneruskan perjalanan, yang pada akhirnya digunakan untuk ke Georgia dan membantu korban bencana di sana yang berlindung di gereja. Kiprahnya ini diliput luas oleh televisi dan mendatangkan simpati. Kemudian -ini juga sangat film- datanglah rombongan bantuan lain termasuk Haseena ke gereja di Georgia itu. Akan tetapi, tanpa diduga, ternyata dalam rombongan itu terdapat seorang pengikut fanatik Dr. Faisal Rahman. Ia kemudian menusuk Rizwan sebagai pembalasan atas ditangkapnya gurunya karena laporan Rizwan Khan.

Maka, Rizwan Khan pun terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Mandira yang mengetahui kabar itu menyusul ke rumah sakit. Di R.S., hasrat Rizwan Khan untuk sembuh besar karena ia merasa masih harus bertemu Presiden A.S. Meski Mandira menyatakan sudah memaafkan, ia tak mau berhenti. Bahkan Rizwan Khan sempat panik karena saat itu tinggal tiga hari lagi hasil Pemilu diumumkan, yang berarti akan terjadi pergantian Presiden. Di akhir cerita, memang happy ending karena kemudian -dengan penggambaran yang lagi-lagi film bangeeet- Rizwan Khan diperbolehkan menemui dan bersalaman dengan Presiden terpilih Barack Hussein Obama (Christopher B. Duncan) dengan disaksikan hampir seluruh kerabatnya, dimana kemudian Obama juga berpidato singkat di podium menyambut Rizwan Khan. Jadi mirip Srimulat karena hampir semua pemain berkumpul di akhir film. Seperti sudah saya sebutkan tadi, film ditutup dengan humor ironis dimana Rizwan Khan dengan lugu menyampaikan “salam” dari Marshall A.S. di bandara yang menahannya dahulu kepada Presiden A.S. Padahal, Marshall itu mengatakan begitu dengan mengklaim sebagai teman Presiden untuk mengejek Rizwan Khan yang dianggap tak mungkin bertemu sang presiden.

Pendek kata, meski dalam film ini diceritakan latar belakang setting peristiwa seputar 9/11, namun film ini -seperti tagline-nya- sejatinya berkisah tentang cinta. Cinta sejati yang tak memandang perbedaan. Tidak hanya perbedaan agama, bahkan juga perbedaan antara orang biasa dengan penyandang “Asperger’s syndrome”. Akan tetapi, bagi saya, film ini mengajarkan banyak, termasuk pemahaman soal agama dan budaya lain, sehingga kita tidak menjadi fanatik buta atas kebenaran yang kita anut.

Pesan yang paling gw ingat dari seorang Razia (Ibu Rizwan Khan), There are only 2 kind of human, Good People who do good things, and Bad People who do bad things. There's no difference between human.

And after all, this is a Must see film...

Thx to: lifeschool.wordpress.com for complete review :)

Reading Time:

@nieth_sweet